Menilik Hutan dikehidupan Bekantan Panjaratan Tanah Laut ditengah ancaman kepunahan

mediapublik.net, Panjaratan-Tala

Di gemercik Sungai Panjaratan Desa Panjaratan Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah laut ,  terdengar kesunyian namun merdu di antara desir air dan lambaian daun-daun air yang mengalir sampai ke  Sungai Lok Serapang.

Sungai ini terkandung didalamnya kehidupan berbagai jenis ikan, yang menghidupi rakyat yang berdomisili di sebuah desa bernama Panjaratan. Dimana sebuah Tim Pegiat  Lingkungan Hidup (PLH) yang dipimpin  Yamadipati Eka Prasetya (sapaan Yama) bersama rekannya  menyusuri pelan jejak-jejak kehidupan yang tak pernah benar-benar dimengerti oleh mereka yang hanya melihat dari balik kaca mobil atau layar gawai.

Desa ini bukan tempat yang ramai. Ia tidak bersolek dengan warna-warni lampu atau suara gemuruh kota. Tapi ia punya satu hal yang langka, selain Pemukiman penduduk juga ada Hutan sebagai bermukiimnya Kelompok Hewan langka yang dilindungi Bekantan, primata  berhidung besar, berjubah coklat kemerahan, yang bagi masyarakat Kalimantan Selatan bukan hanya hewan liar, tapi maskot yang dijunjung, wajah yang mewakili hutan dan sungai mereka.

Panjaratan bukan surga bekantan yang bebas dari luka. Tetapi ancaman potensi  kepunahan Bekantan akan terjadi ketika Lahan sawit terus merangsek ke pinggir habitat. Api musim kemarau mengancam dari arah selatan. Asap, panas, dan hilangnya pohon-pohon tinggi serta makanannya apalagi Perhatian Pemerintah dan Pegiat Lingkungan sudah mulai terabaikan maka tidak menutup kemungkinan  membuat BEKANTAN Hewan  yang ganteng molek ini  terancam kepunahan tidak ada lagi di wilayah Hutan Bekantan Panjaratan

Ingin menilik lebih dekat keberadaan Bekantan ini,  Tim PLH  tiba menjelang senja ke Lokasi Dimana hutan bekantan tersebut menjadi menarik dibangkitkan Kembali setelah Gerakan Hijau Peduli Bekantan Tanah Laut (GAHIPBTA) memviralkannya , Tim PLH  secara perlahan merayap melintasi Sungai Panjaratan ingin mendekati Lokasi Dimana bermukimnya Bekantan itu.

Terlihat saat itu  langit menggantung awan tipis. Udara lembap menggigit pelan kulitku (tutur Yama) , angin membawa harum lumpur dan air sungai. Di tepi dermaga kecil yang dibangun warga, sebuah perahu kayu kecil bergoyang lembut, siap mengantarku menyusuri sungai.

Anak-anak menyapa dengan ramah, seorang bapak paruh baya mengenalkan diri. Katanya, “Kalau beruntung, nanti lihat si hidung panjang di atas pohon sana. Tapi jangan bising, mereka sensitif.”

Kami pun melaju perlahan menyusuri sungai. Sungai ini bukan hanya urat air, tapi urat nadi. Di balik rimbunnya pepohonan, terdengar suara alam yang tak pernah lelah berkisah. Sesekali, ranting bergoyang tanpa angin.

Di atas perahu, aku mendengar suara Bekantan, lebih dari sekali ranting pun patah, getaran di udara. Aku pejamkan mata sebentar, membayangkan koloni yang berlarian di atas kanopi hutan yang tersisa.

Mataku terarah ke atas, dan benar saja, sepasang mata menyembul di antara daun-daun. Seekor bekantan jantan, lengkap dengan hidungnya yang menjuntai, memandangku sejenak, lalu berayun ke pohon berikutnya.

Tak ada teriakan, tak ada sensasi. Hanya diam yang dalam. Seperti ia ingin berkata: “Ingat kami… sebelum kami hilang.”

Mereka nampak aman berlarian, tapi aman bukan berarti abadi. Sawit mendesak pinggiran hutan. Kebakaran lahan menjelma kabut sesak yang meredupkan sinar. Suara mesin dan alat berat menggema di balik pepohonan.

Di situlah gerakan lokal muncul, penanaman ratusan bibit pohon seperti Ndoking, Medang Natai, usaha reboisasi di tepian sungai, patroli swadaya masyarakat, pengamatan dan pemantauan oleh instansi terkait hingga lahirnya Kawasan Ekosistem Esensial Panjaratan, agar perlindungan, pemulihan ekosistem, dan pemanfaatan yang berkelanjutan dapat secara nyata dikerjakan.

Aku (yama) berbincang dengan warga. “Dulu hutan lebih lebat,” kisah seorang ibu di serambi rumah. “Bekantan itu biasa lewat di belakang rumah. Di pohon kelakai itu. Anak-anak saya terkadang melihat mereka turun dari pohon-pohon larut senja, mencari buah, lalu kembali ketika lampu mulai dinyalakan. Sekarang, yang saya takut, hutan itu makin hilang dan bekantan terusir dari rumahnya.”

Namun di Panjaratan, harapan belum mati. Bahkan mungkin, justru sedang tumbuh. Konservasi di Panjaratan bukan sekadar program pemerintah. Ia hidup dalam hati masyarakat. Pokdarwis menjaga perahu wisata agar tak mengganggu habitat.

Aktivis lingkungan menanam pohon di tepian sungai sebagai penopang hutan. Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) telah dibentuk sebagai bentuk janji, bahwa hidup bersama alam bukan hanya mungkin, tapi harus.

Panjaratan bukan surga bekantan yang bebas dari luka. Tetapi ancaman potensi  kepunahan Bekantan akan terjadi ketika Lahan sawit terus merangsek ke pinggir habitat. Api musim kemarau mengancam dari arah selatan. Asap, panas, dan hilangnya pohon-pohon tinggi serta makanannya apalagi Perhatian Pemerintah dan Pegiat Lingkungan sudah mulai terabaikan maka tidak menutup kemungkinan  membuat BEKANTAN Hewan  yang ganteng molek ini  terancam kepunahan tidak ada lagi di wilayah Hutan Bekantan Panjaratan.

“Kadang kami dengar suara ranting patah bukan karena bekantan,” ujar seorang warga. “Tapi karena alat berat.” Dan tetap saja, mereka bertahan. Bekantan-bekantan itu, dengan hidung yang aneh dan lompatan yang anggun, masih mencari jalan hidupnya di celah-celah hutan yang tersisa.

Sebelum pulang, TIM PLH berdiri sejenak di jembatan kecil yang melintasi sungai. Senja mewarnai air seperti lukisan tua. Di kejauhan, samar, terdengar suara pekikan, bukan jeritan, tapi seperti seruan. Entah dari anak-anak bekantan yang bermain, atau dari hutan yang meminta kita kembali mendengarkan dalam ekpresi pesan Lindungi Kami (Bekantan)..

Panjaratan adalah Simfoni Sunyi yang perlu didengarkan. Di dunia yang kian gaduh oleh ambisi dan angka, Desa Panjaratan mengajarkan satu hal, bahwa menjaga adalah bentuk paling tulus dari cinta. Cinta kepada tanah, kepada sungai, kepada makhluk lain yang berbagi kehidupan dengan kita.

Dan selama bekantan masih bisa melompat di atas cabang dan pohon-pohon di tepi sungai, selama sungai Lok Serapang masih bisa mengalir tanpa kandungan racun akibat limbah yang terbuang kesungai Panjaratan sekitarnya, maka BEKANTAN itu tetap  masih ada. Di sanalah tempatnya, di Panjaratan, jantung sunyi Kalimantan Selatan, yang berdenyut demi masa depan yang lebih bijak . (MP/Yamadipati)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *