mediapublik.net, Jakarta
Polemik dugaan politik uang dalam pemilihan pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI dari unsur DPD terus bergulir.
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Nasional, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, yang juga alumni Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 48 Lemhannas RI tahun 2012, turut memberikan tanggapan keras terkait isu ini.
Wilson menegaskan bahwa dirinya yakin informasi yang disampaikan Ifan benar dan didukung oleh fakta. “Yang disuap 95 orang, saya yakin informasi Irfan benar dan faktual. Mungkin anggota yang didampingi Yefta tidak masuk dalam 95 orang itu, jadi dia tidak tahu permainan di lembaga itu,” ujar Wilson dalam keterangannya kepada media, Minggu (16/2/2025).
Ia menyoroti bahwa praktik politik uang bukanlah hal baru dalam dunia politik Indonesia. Menurutnya, sistem transaksional sudah mengakar, mulai dari pemilihan anggota legislatif hingga jabatan eksekutif. “Jangankan jadi ketua, saat mau jadi anggota dewan saja mereka sudah main uang, apalagi untuk jadi pimpinan lembaga. Semuanya begitu, di DPR RI juga sama, termasuk di daerah-daerah. Uang jadi alat bargaining untuk jadi pimpinan,” tegasnya.
Lebih jauh, Wilson bahkan menyebut bahwa praktik serupa terjadi di berbagai sektor, termasuk pemilihan ketua organisasi. “PWI-nya Hendry Bangun juga main uang untuk jadi ketua, hahaha…” tambahnya dengan nada sarkastik.
Tak hanya menyoroti DPD RI, Wilson juga mengungkapkan dugaan adanya setoran besar bagi mereka yang ingin menduduki jabatan strategis di pemerintahan, termasuk kursi menteri.
“Jaman Jokowi, untuk jadi menteri harus setor antara 400 miliar hingga Rp3 triliun. Saya belum dapat informasi untuk menteri-menteri jaman Prabowo, berapa setoran untuk jadi menteri, tapi saya yakin pasti pakai setoran. Lah, untuk jadi Kepala RSUD Provinsi saja setorannya miliaran, bagaimana mungkin setingkat kementerian tidak ada setoran? Jika si menteri tidak punya uang, dia bisa gandeng investor untuk jadi bohirnya,” ungkapnya.
Wilson juga menyinggung independensi KPK dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi. Menurutnya, sistem politik yang sarat uang membuat lembaga antirasuah sulit bergerak. “Oleh karena itu, KPK sulit bergerak memproses para pejabat itu, semuanya duit. Untuk jadi pimpinan KPK juga harus pakai duit. Apakah mungkin sapu kotor dipakai menyapu jalanan kotor?” katanya menutup pernyataan.
Pernyataan Wilson Lalengke ini semakin memperkeruh isu yang telah memanas setelah Ifan mengungkap dugaan suap dalam pemilihan pimpinan DPD RI. Sebelumnya juga, aktivis Aliansi Masyarakat Pemuda Nusantara Merah Putih (AMPUH), Yefta Bakarbessy, membantah tudingan Ifan dan menegaskan bahwa selama dirinya mendampingi salah satu senator asal Papua Barat, tidak ada indikasi suap.
Hingga berita ini diterbitkan, sekiranya dapat di respon oleh pihak terkait berupa pernyataan resmi dari KPK, pihak Istana, maupun Badan Kehormatan (BK) pimpinan DPD RI mengenai tudingan yang semakin luas ini. (Tim/Red/Wi//rils)