SAMPAH BANJARBAKULA DAN KEBIJAKAN YANG “SAYUP”

Noorhalis Majid

mediapublik.net, Banjarmasin

Setelah TPA Basirih ditutup, kemana Banjarmasin membuang sampah? Padahal volume sampah tidak dapat ditahan, jumlahnya mencapai 600 ton perhari. Menjelang dan memasuki Ramadhan, seperti biasanya meningkat 2 kali lipat, mencapai 1000 ton.

Dengan volume sampah yang meningkat, sangat sulit mengandalkan langkah yang sekedar “himbauan” agar memilah sampah sejak dari rumah. Atau aparat kelurahan dan pasukan kuning dikerahkan mengumpulkan dalam karung, sampah yang “tahambur” di TPS, jalan, pasar, obyek wisata dan segala tempat. Sulit dilakukan, karena jumlahnya terlalu banyak.

Banjarbakula mestinya menjadi solusi dari problem sampah kota Banjarmasin yang “sayup”, terlambat ditangani secara serius dan berkelanjutan. Sebab Pemko lebih asyik mengerjakan hal-hal yang tidak penting dan serimonial, sementara investasi terkait pengelolaan sampah, tidak serius dikerjakan.

“Sayup”, merupakan sindiran Banjar yang menggambarkan satu keadaan yang sudah terlambat, terlanjur tidak dihiraukan, padahal sebelumnya cukup waktu untuk memikirkan dan melakukannya, namun lengah, bahkan abai, sehingga hampir tidak memungkinkan lagi memutar jarum jam. Begitulah gambaran kebijakan Pemko sepanjang 10 tahun ini, “sayup” dan akhirnya waktu jabatan berakhir, sampah tak tertangani, menggunung.

Banjarbakula tidak boleh tutup mata, apalagi menggunakan “kaca mata kuda” dalam melihat ini. Misalnya, Pemko Banjarmasin hanya boleh mengantar sampah ke TPAS Regional Banjarbakula apabila mampu membayar sesuai kesepakatan harga, maka bisa dipastikan Pemko tidak memiliki kemewahan membayar sejumlah itu, karena gunungan sampah menggambarkan biaya yang tidak sedikit.

Gubernur mesti memberikan perhatian, karena warga Banjarmasin, juga warga Kalimantan Selatan yang harus diperhatikan Gubernur, dan Pemko harus ditolong.

Bila TPAS Regional Banjarbakula saklek, menggunakan kaca mata kuda dan tetap mengenakan per ton Rp.65 ribu, dengan 1000 ton perhari, berarti pemko Banjarmasin harus membayar Rp.65 juta dalam sehari. Belum termasuk biaya operasional lainnya. Dengan dana sebesar itu, tidak ada jalan, kecuali Gubernur turun tangan mengatasinya. (Sumber  Noorhalis Majid)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *