mediapublik.net, Jakarta
DPD RI mendorong adanya amandemen kelima pada konstitusi UUD NRI 1945 dalam hal pengajuan calon presiden. DPD RI memandang sudah saatnya pemilihan calon presiden dari jalur non partai untuk segera dibuka.
Ketua Komite I DPD RI, Fachrul Razi mengatakan, amandemen konstitusi merupakan keharusan dan kebutuhan negara yang menginginkan adanya perubahan mendasar.
“Berbicara amandemen konstitusi bukanlah satu hal yang tabu, karena Indonesia sudah 4 kali mengalami amandemen konstitusi,” ujar Fachrul dalam serial webinar Obrolan Bareng Bang Ruslan bertema ‘Buka Saja Keran Capres’, Selasa (25/5).
Fachrul memandang, di dalam konstitusi UUD 1945 disebutkan yang boleh memilih presiden adalah Partai politik yang ada melalui DPR dan utusan daerah. Sedangkan pada amandemen konstitusi keempat yang melahirkan DPD RI, lanjut Fachrul, suara utusan daerah dan golongan itu dihilangkan.
“Itu yang ingin kita perjuangkan, jadi harus dimasukkan. Presiden itu jangan hanya diusulkan dari partai politik saja melalui DPR, tapi juga dapat diusulkan diluar partai politik, dan lembaga yang dapat menyeimbangkan kekuatan demokrasi dan perlunya mekanisme pemilihan presiden diluar partai adalah menjadikan DPD RI sebagai lembaga negara yang dapat mengusulkan calon presiden diluar partai” cetusnya.
Melalui amandemen kelima, masih kata Fachrul, DPD RI ingin hak utusan dan golongan dalam mengusulkan calon presiden dapat “dihidupkan” kembali oleh DPD RI.
Bukan tanpa alasan, sebagai badan perwakilan daerah yang tidak menjadi bagian partai politik, DPD dianggap pantas melakukan seleksi dan membuat usulan calon presiden yang berasal dari calon perseorangan atau tidak melalui partai politik.
“Kenapa DPD? Karena DPD merupakan lembaga negara yang tidak berdasarkan keanggotaan partai. Jadi itu bisa dimasukkan di dalam draf syarat yang nanti akan kita perjuangkan di amandemen kelima,” pungkasnya.
Fachrul Razi menambahkan bahwa DPD RI memiliki 80 juta suara pada pemilihan umum yang lalu. “Jumlah suara satu kursi anggota DPD RI di daerah, setara dengan 10 kursi di DPD RI atau lebih. Namun pasca pelantikan, suara rakyat menjadi hilang, berbeda dengan anggota DPR yang dikonversi menjadi suara partai yang dapat digunakan untuk syarat dukungan kepala daerah, ketidakadilan kedaulatan suara ini yang ingin kami perjuangkan,” tegasnya.
Senator Aceh yang juga mantan aktivis Universitas Indonesia ini mengatakan bahwa praktek demokrasi telah menunjukkan kepala daerah di beberapa propinsi yang terpilih secara independen juga berhasil membangun daerah,” tutupnya.(MP/PPWI/Ril)