mediapublik.net, Jakarta
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers secara daring di ruang Sidang MK, Rabu (26/1/22). Sidang yang diketuai Dr. Anwar Usman, S.H., M.H., menghadirkan dua saksi pemohon dengan agenda mendengarkan keterangan saksi [1].
Kedua saksi pemohon tersebut adalah Ketua Sindikat Wartawan Indonesia (SWI) Dedik Sugianto dan Sekretaris Umum DPP Jurnalis Nasional Indonesia (JNI) Hika Transisia. Di hadapan Majelis Hakim, Dedik mengatakan bahwa SWI kehilangan hak untuk menyusun dan membuat peraturan karena diambil-alih oleh Dewan Pers.
Lanjutnya, hal tersebut terjadi sejak timbul kesalahan tafsir dari Dewan Pers yang menjadikan kesepakatan bersama organisasi-organisasi pers mengenai standar organisasi wartawan Indonesia berupa peraturan Dewan Pers dan bukan menjadi aturan organisasi Pers masing-masing pada 2006.
Lebih parahnya lagi, Dedik melanjutkan, Dewan Pers sebagai fasilitator justru membuat peraturan pers, yakni Peraturan Dewan Pers yang merugikan wartawan Indonesia dan mengganggu sertifikasi kompetensi kerja nasional. “Padahal setiap sertifikasi kompetensi wajib sertifikat asesor kompetensi,” terang Dedik.
Sementara itu, Sekretaris umum DPP JNI Hika Transisia mengatakan mengalami kerugian karena adanya ketidakjelasan tafsir Pasal 15 ayat (2) huruf (f) UU Pers. Menurutnya, karena ketidakjelasan tafsir tersebut, pihaknya tidak dapat menentukan dan menyusun peraturan-peraturan di bidang pers karena wujud menfasilitasi Dewan Pers tanpa melibatkan JNI sebagai organisasi pers yang telah mempunyai struktur kepengurusan yang jelas, lengkap dan sah.
“Dengan adanya ketidakjelasan Pasal 15 ayat (2) huruf (f) UU Pers, Dewan Pers telah mengambil alih hak organisasi pers untuk menyusun dan membuat peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan,” papar Hika.
Sementara itu, Tokoh Pers Nasional Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc., M.A., yang juga Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) membenarkan dan mendukung keterangan saksi di persidangan MK terkait permohonan uji materiil UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. “Secara umum, PPWI membenarkan dan mendukung keterangan saksi di persidangan MK Rabu kemarin terkait permohonan uji materi UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers,” ungkap alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu, Kamis, 27 Januari 2022.
Ketiadaan aturan teknis pelaksanaan dari pasal 15 ayat (2) dan (3) dari UU Pers ini menjadikan lembaga Dewan Pers yang dibentuk dengan maksud menjalankan Pasal 15 ayat (1) UU Pers dengan mudah tergiring untuk melakukan hal-hal yang di luar kewenangannya. Salah satu contoh, kata Lalengke, adalah pelaksanaan uji kompetensi wartawan (UKW) yang dilaksanakan oleh Dewan Pers bersama segelintir underbow-nya selama ini.
“Masalah kompetensi atau keahlian dan profesi wartawan itu adalah kewenangan BNSP sesuai Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2004 yang telah diperbaharui dengan PP Nomor 10 tahun 2018 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi.
Apa dasar hukumnya Dewan Pers membuat aturan tentang uji kompetensi wartawan? Juga, lembaga ini tidak diberi kewenangan oleh UU untuk membuat aturan yang diberlakukan bagi organisi pers dan wartawan. Jelas illegal alias tidak punya dasar hukum kebijakan dan kegiatan lembaga itu terkait UKW selama ini,” tegas trainer yang sudah melatih ribuan wartawan, guru, dosen, mahasiswa, ASN, TNI, Polri, pengacara, LSM, ormas dan masyarakat umum itu di bidang jurnalistik itu.
Yang paling aneh, lanjut Lalengke, adalah penentuan status kewartawanan seseorang yang oleh Dewan Pers selama ini disebutkan bahwa seseorang diakui sebagai wartawan jika menjadi konstituen lembaga itu dan telah mengikuti UKW. Artinya, jika seorang wartawan bergabung di organisasi pers non konstituen Dewan Pers dan tidak memiliki ijazah UKW, plus medianya tidak terdaftar di lembaga itu, maka yang bersangkutan akan dianggap bukan wartawan.
“Ini yang selalu terjadi. Contoh kasus di Lhokseumawe, Aceh, beberapa tahun lalu. Dewan Pers menyatakan dua wartawan media online BeritaAtjeh.Net bukan wartawan karena belum UKW dan medianya tidak terdaftar di Dewan Pers. Padahal, di KTP yang bersangkutan tertulis pekerjaannya sebagai wartawan [2]. Itu benar-benar konyol,” ujar lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, The United Kingdom, ini heran.
Sehubungan dengan perilaku menyimpang dari aturan perundangan yang ada, maka Wilson Lalengke mengharapkan agar Majelis Hakim Konstitusi yang mulia dapat mengembalikan dan mendudukan tugas dan fungsi masing-masing pihak, Dewan Pers, organisiasi pers, dan wartawan pada posisi yang sebenarnya. “PPWI berharap agar MK dapat mengembalikan hak konstitusi para wartawan dan organisasi pers yang selama ini dirampas oleh Dewan Pers akibat salah penafsiran atas Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Pers,” tandas Lalengke mengakhiri pernyataannya. (NJK/ Red)