Peserta Internasional PROFAUNA Conference 2019 di Kota Batu Provinsi Jawa Timur
Kota Batu, mediapublik.net
Ratusan aktivis lingkungan berkumpul dalam acara PROFAUNA Conference 2019 Sabtu Minggu (13-14/7) di Petungsewu Wildlife Education Center (P-WEC), Malang, Jawa Timur.
Dengan mengangkat tema “Keep Wildlife in The Wild” antusias Peserta yang hadir beragam mulai dari kalangan, aktivis lingkungan, mahasiswa, jurnalis, LSM, kelompok masyarakat, taman nasional, BKSDA, peneliti satwa liar dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Mereka berasal dari berbagai kota di Indonesia, mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, Bali, Jayapura, dan Lombok. Bahkan peserta dari luar negeri yakni i Jerman, USA dan China.
Menariknya Narasumber yang memberikan materi adalah Hiltrud Cordes dari Turtle Foundation, Jerman yang membahas tentang konservasi penyu, selain itu Bayu Sandi dari Yayasan Penyu Indonesia yang membahas pengalaman mengelola pulau penyu, Ria Saryanthi dari Burung Indonesia yang bicara tentang konservasi burung dihabitat alaminya, dan Rosek Nursahid dari PROFAUNA Indonesia yang mengungkap sejarah grassroot movement untuk perlindungan satwa liar Indonesia.
Selain itu masih banyak pembicara lain seperti Vivi Tan Oga (ALTO), Ance Tatinggulu (Yayasan Yaki), Novi Hardianto (WWF), Asril Abdullah (SOCP), Krismanko Padang (BKSDA Jambi), Irma Hermawati (WCS Indonesia), Suherry (Orangutan Haven), Erik Yanuar (Ranger PROFAUNA), dan Rudi Putra (Forum Konservasi Leuser). Dirjen KSDAE, KLHK Wiratno menjadi pembicara kunci dalam acara dua tahunan ini.
Pembahasan dalam PROFAUNA Conference 2019, menarik untuk disimak mengingat kejahatan satwa liar terus saja terjadi meskipun sudah puluhan tahun diperangi. Hal ini diungkapkan oleh Dirjen KSDAE Wiratno yang meluangkan waktu hadir dalam acara ini.
“Berbagai persoalan penyelamatan satwa liar semakin menunjukkan ritme yang semakin kompleks, perang melawan kejahatan satwa liar tidak lagi memakai cara lama, tetapi harus menggunakan cara-cara baru,” kata Wiratno.
Semakin canggihnya teknologi, pesoalan kejahatan satwa liar illegal kian meningkat dengan ditandai banyaknya pedagang satwa liar illegal yang merambah media sosial. Hal ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah dan aktivis lingkungan untuk memerangi hal tersebut. Wiratno berharap adanya kerjasama antar aktivis dan pemerintah dalam menangani kejahatan satwa liar.
“PROFAUNA memiliki peran dalam membangun nilai-nilai baru tentang bagaimana selayaknya kita manusia Indonesia bisa atau seharusnya hidup co-exist dan juga saling menyayangi dengan semua mahluk ciptaan Tuhan. Jaringannya yang tersebar di seluruh nusantara juga menjadi kekuatan penting untuk bekerja bersama pemerintah di tahun-tahun ke depan,” jelas laki laki yang ramah ini. .
Hal ini diamini oleh Rosek Nursahid Owner Profauna Indonesia dikatakannya , bahwa suatu gerakan atau tindakan akan menjadi luar biasa jika semua lapisan masyarakat mau bertindak untuk melakukan perubahan.
“Kebanyakan organisasi lingkungan di Indonesia tidak memiliki sitem keanggotaan, hanya pengurus inti saja yang mencoba melakukan suatu perubahan. Itu bagus, karena tidak banyak yang mau melakukan hal itu. Tapi saya berfikir lain, karena gerakan itu akan menjadi luar biasa dahsyat ketika semua individu masyarakat mau terlibat dalam suatu perubahan,” kata Rosek.
Jika membicarakan perburuan satwa liar, tidak luput pula dari kerusakan habitatnya. Dalam PROFAUNA Conference 2019, kerusakan hutan juga menjadi masalah serius yang perlu didiskusikan. Berkurangnya hutan di Indonesia yang beralih fungsi menjadi perkebunan dan pertambangan menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar.
Hal ini dibuktikan oleh Rudi Putra yang selama bertahun-tahun menjaga kelestarian habitat satwa liar di Leuser, Aceh. Sejak tahun 2009 hingga sekarang, Rudi dan kawan-kawan mampu merestorasi perkebunan kelapa sawit menjadi hutan yang sangat lebat.
“Alam dapat merestorasi dirinya sendiri tanpa intervensi manusia. Saat ini, hutan di Leuser sudah semakin lebat. Melalui monitoring kami, satwa-satwa liar terlihat di kawasan ini. Seperti gajah, macan, orangutan, badak, dan beruang,” kata Rudi.
Untuk menjaga kelestarian satwa liar dan habitatnya tentunya butuh tindakan nyata. Menurut Rosek, untuk melakukan tindakan nyata itu tidak selalu membutuhkan dana yang besar. Hal-hal kecil yang bisa dilakukan setiap masyarakat seperti edukasi hingga kampanye di media sosial bisa dilakukan kapan saja dan siapa saja.
Acara dua hari yang digelar selama 2 hari full time tak membuat luntur semangat pesertanya meskipun dipuncak gunung Petungsewu ini udaranya tebilang sangat dingin. Ini terbukti semakin mengukuhkan aktivis untuk terus berjuang bagi pelestarian satwa liar Indonesia dan habitatnya. Jaringan informasi yang lebih kuatpun terjalin yang semakin membuat peserta mempunyai semangat dan optimisme untuk melanjutkan perjuangan. Sampai jumpa di PROFAUNA Conference 2021, ujar Rosek.
Ketua Yayasan Bakti Insan Borneo (YABIBO) M.Z. Firdaus bergerak dilingkungan Hijau dan Pelestarian Bekantan Tanah Laut Kalimantan Selatan menilai acara yang dilakukan oleh Profauna Indonesia ini sangat bermanfaat untuk diikuti oleh peserta lingkungan dan Fauna hususnya Tanah Laut.
Pasalnya sebagai Lembaga yang baru melakukan kegiatan dibidang ini tentu akan menambah pengetahuan serta mendapatkan jaringan kelembagaan yang tersebar di Indonesia dan Luar negeri.
Bagi Profauna Indonesia dengan kehadiran YABIBO menambah jaringan di Kalimantan Selatan yang merupakan peserta satu-satunya dari Kalimantan Selatan asal Kabupaten Tanah Laut yang kini lagi bersemangatnya untuk melestarikan binatang langka Bekantan di wilayah Hutan Desa Panjaratan Kecamatan Pelaihari, ujar Firdaus. (MP/Sit)