(Oleh : Masnayanti, S.Kep, Ners, MM)
Dalam beberapa tahun terakhir, Kalimantan Selatan (Kalsel) telah menunjukkan performa ekonomi yang mengesankan di tengah ketidakpastian ekonomi global. Provinsi yang dijuluki “Banua” ini berhasil mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 4,81% (year-on-year) pada triwulan pertama 2025, dengan inflasi yang tetap terkendali di angka 2,98%. Pencapaian ini tidak lepas dari strategi transformasi ekonomi berbasis hilirisasi batu bara yang gencar diimplementasikan sejak lima tahun terakhir.
Latar Belakang dari Eksportir Mentah Menuju Pusat Industri Hilir Sebagai salah satu provinsi penghasil batu bara terbesar di Indonesia, Kalimantan Selatan (Kalsel) menyimpan cadangan batu bara mencapai 3,2 miliar ton atau sekitar 6,98% dari total cadangan nasional. Selama beberapa dekade, provinsi ini telah menjadi penyokong utama pasokan energi nasional dengan produksi mencapai 120 juta ton per tahun. Namun, ketergantungan pada ekspor batu bara mentah membuat perekonomian daerah rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global.
Tahun 2022 menjadi titik balik ketika harga batu bara dunia mengalami penurunan signifikan hingga menyentuh level US$70 per ton. Kejadian ini memberikan pelajaran berharga bagi para pemangku kepentingan di Kalsel tentang pentingnya diversifikasi ekonomi dan peningkatan nilai tambah sumber daya alam. Sejak saat itu, Pemerintah Provinsi Kalsel bersama dengan Kementerian ESDM mulai secara serius mengimplementasikan strategi hilirisasi batu bara sebagai bagian dari Roadmap Hilirisasi Batu Bara 2020-2045.
Proyek Strategis Hilirisasi Batu Bara di Kalsel, Implementasi hilirisasi batu bara di Kalsel melibatkan beberapa proyek strategis yang menjadi tulang punggung transformasi ekonomi daerah:
- Kompleks Gasifikasi Batu Bara Tanah Bumbu
Proyek senilai Rp30 triliun ini merupakan kerja sama antara PT Bukit Asam, Pertamina, dan beberapa investor asal China. Kompleks industri ini dirancang untuk memproduksi 1,4 juta ton Dimethyl Ether (DME) per tahun, yang setara dengan 20% kebutuhan LPG nasional. Proyek ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor LPG yang mencapai 7 juta ton pada tahun 2024.
Namun, proyek ambisius ini tidak lepas dari tantangan. Harga produksi DME diperkirakan berada pada kisaran US$412-488 per ton, masih lebih tinggi dibandingkan harga LPG impor yang berkisar US$350 per ton. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah sedang mempertimbangkan pemberian insentif fiskal dan penetapan harga khusus melalui Peraturan Menteri ESDM.
- Kawasan Industri Metanol Pulau Laut
PT Arutmin Indonesia, anak perusahaan Adaro Energy, memimpin pengembangan kawasan industri metanol di Pulau Laut, Kotabaru. Dengan investasi mencapai Rp25 triliun, kawasan industri ini ditargetkan mampu memproduksi 2,95 juta ton metanol per tahun mulai 2026. Sebanyak 70% produksi akan diekspor ke pasar Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan, sementara 30% sisanya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri petrokimia dalam negeri.
- PLTU Mulut Tambang dan Industri Pendukung
Untuk mendukung operasional kawasan industri hilirisasi, dibangun PLTU Mulut Tambang di Tapin dengan kapasitas 100 MW. Pembangkit listrik senilai Rp1,1 triliun ini diharapkan dapat menekan biaya listrik bagi industri pengolahan hingga 15%. Selain itu, sedang dikembangkan pula industri pendukung seperti pabrik katalis dan pabrik peralatan proses yang akan mengurangi ketergantungan pada impor peralatan industri.
Dampak Ekonomi dan Sosial Hilirisasi
Implementasi hilirisasi batu bara telah memberikan dampak signifikan bagi perekonomian Kalsel. Data BPS Kalsel menunjukkan pertumbuhan PDRB dari Rp210 triliun pada 2022 menjadi Rp230 triliun pada 2024, dengan kontribusi sektor industri pengolahan meningkat dari 16% menjadi 22%. Sektor pertambangan yang sebelumnya menyumbang 25,4% PDRB pada 2019, kini berkontribusi sekitar 29,1% dan diproyeksikan mencapai 32% pada 2025.
Dari sisi ketenagakerjaan, proyek-proyek hilirisasi telah menyerap lebih dari 15.000 tenaga kerja langsung dan 35.000 tenaga kerja tidak langsung. Upah rata-rata pekerja di sektor hilirisasi mencapai Rp8,5 juta per bulan, jauh di atas upah minimum regional sebesar Rp3,2 juta.
Stabilitas harga juga terjaga dengan inflasi yang tetap stabil di kisaran 2,56% (2022) dan 2,98% (2024). Hal ini antara lain disebabkan oleh:
- Efisiensi distribusi energi melalui substitusi LPG impor dengan DME lokal
- Penurunan biaya logistik industri sebesar 12% sejak 2023
- Peningkatan daya beli masyarakat seiring bertumbuhnya lapangan kerja
Tantangan dan Strategi Ke Depan
Meskipun menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, implementasi hilirisasi batu bara di Kalsel masih menghadapi beberapa tantangan besar :
- Keterbatasan Infrastruktur Dasar
Pelabuhan Batulicin yang menjadi pintu utama ekspor produk hilir saat ini hanya mampu menampung kapal berkapasitas 50.000 DWT. Padahal, kapal pengangkut metanol umumnya membutuhkan kapasitas 80.000-100.000 DWT. Solusinya, pemerintah telah mengalokasikan dana Rp4,2 triliun untuk pengembangan Pelabuhan Batulicin Fase II yang ditargetkan selesai 2027. - Kesenjangan Kompetensi SDM
Survei Kadin Kalsel menunjukkan bahwa 60% tenaga kerja teknis di proyek hilirisasi masih berasal dari luar daerah. Untuk mengatasi hal ini, telah dibentuk Pusat Pelatihan Industri Hilirisasi yang bekerja sama dengan 5 politeknik lokal untuk mencetak 10.000 tenaga kerja terampil setiap tahun. - Dampak Lingkungan
Proses gasifikasi batu bara menghasilkan emisi CO2 yang signifikan. Sebagai solusi, sedang dikembangkan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) di Tanah Bumbu dengan kapasitas penangkapan 2 juta ton CO2 per tahun.
Proyeksi 2045: Visi Kalsel sebagai Pusat Industri Hijau
Berdasarkan proyeksi Bappenas, implementasi hilirisasi batu bara akan mengantarkan Kalsel menjadi salah satu pusat industri strategis nasional dengan beberapa capaian penting:
- Pertumbuhan ekonomi rata-rata 7-8% per tahun
- Nilai ekspor produk hilir mencapai US$5 miliar per tahun
- Penciptaan 500.000 lapangan kerja baru
- Kontribusi sektor industri terhadap PDRB meningkat menjadi 35%
- Pengurangan emisi karbon hingga 40% melalui penerapan teknologi bersih
Pada Musrenbang 2025 (Musyawarah Rencana Pembangunan), Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan H. Muhidin menekankan pentingnya mendorong hilirisasi industri, pertanian, dan pariwisata untuk menciptakan iklim investasi berkelanjutan dan ekonomi hijau di Kalsel .
Beliau mendukung pengembangan hilirisasi secara luas dalam kerangka ekonomi hijau, terutama melalui pembangunan industri lokal yang berkelanjutan.
Gubernur H. Muhidin yang secara eksplisit membahas hilirisasi batu bara, beberapa informasi terkait kebijakan dan fokus pemerintah daerah yang relevan Adalah Raperda Pengelolaan Minerba.
Pada 19 Mei 2025, Gubernur Muhidin mengajukan Raperda tentang Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai bagian dari penyesuaian regulasi terhadap UU Minerba terbaru. Perda ini dirancang agar menjadi pedoman kolaborasi berkelanjutan menuju visi “Kalsel Bekerja Menuju Gerbang Logistik Kalimantan” .
Fokus Hilirisasi Industri, Bukan Sekadar Tambang, dalam dokumen RPJMD 2022–2026, disebut bahwa Pemprov Kalsel memprioritaskan hilirisasi industri pertambangan—termasuk batu bara—sebagai upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah .
Proyek Hilirisasi Batu Bara di Industri Lokal Sejak 2021, Disperin Kalsel telah mendorong optimalisasi hilirisasi batu bara melalui kerjasama dengan perusahaan seperti Adaro (metanol/LPG) dan Borneo Indobara (pupuk dari batu bara) . Ini adalah inisiatif provinsi kalsel.
Transformasi ekonomi berbasis hilirisasi batu bara di Kalimantan Selatan telah menunjukkan hasil yang menggembirakan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Peningkatan PDRB, penciptaan lapangan kerja, dan stabilitas harga menjadi bukti nyata keberhasilan strategi ini. Namun, untuk mencapai visi 2045, diperlukan komitmen berkelanjutan dari semua pemangku kepentingan dalam mengatasi tantangan infrastruktur, SDM, dan lingkungan.
Hilirisasi batu bara di Kalimantan Selatan dapat menjadi kunci dalam pengendalian inflasi, namun efektivitasnya tergantung pada beberapa faktor. Pemanfaatan batu bara sebagai bahan bakar alternatif dan produk turunan dapat mengurangi ketergantungan pada impor, meningkatkan ketahanan energi, dan menciptakan lapangan kerja baru. Namun, perlu juga diperhatikan dampak lingkungan dan potensi habisnya sumber daya batu bara jika tidak diimbangi dengan pengembangan sektor ekonomi lain.
Dengan sinergi yang kuat antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat, Kalsel memiliki potensi besar untuk menjadi model pembangunan ekonomi berbasis sumber daya alam yang berkelanjutan dan inklusif, tidak hanya bagi Kawasan Timur Indonesia tetapi juga secara nasional. (Penulis : Redaktur Kesehatan & Ekonomi Koran & Online Media Publik)